30.4 C
Indonesia
Saturday, September 23, 2023
spot_img

TUTUR GALUR BATUR KA CIPANCUR

Sepanjang tahun 1680-an, laju politik di Jawa Barat bergerak dengan sangat dinamis. Cirebon yang semula bermitra dengan Banten, kemudian memilih menjadi negeri ‘sahabat’ VOC pada 7 Januari 1681. Sultan Ageng Tirtayasa Banten yang menyeru perang terhadap Kompeni, juga berhasil ditangkap pada 14 Maret 1683. VOC jadi satu-satunya negara adidaya di bagian barat Jawa!

Pasukan Banten yang enggan menerima kekalahannya, memilih kabur dan mengobarkan perlawanan dari dalam kawasan Priangan. Sesekali mereka menyerang kedudukan sekutu (atau pihak yang mengakui) Kompeni dengan taktik hit and run. Secara militer, pasukan Banten dibantu orang-orang Makassar pengikut Syekh Yusuf. Wilayah Gebang dan Cirebon yang dekat dengan VOC, tak jarang jadi incaran para pasukan pejuang Banten tersebut.

Satu waktu, setelah melakukan penyerangan terhadap Pangeran Gebang, sekelompok pasukan Banten yang menyingkir dari pesisir lari ke arah selatan. Disana mereka menemukan mata air jernih nan bersih yang mengalir dalam potongan batang bambu. Karena dahaga mendera, mereka langsung meminum air segar itu. Tidak sedikit yang membersihkan diri disana karena tubuh mereka lusuh menembus rimba.

Selang beberapa waktu, muncul seorang lelaki paruh baya hendak mengambil air bersih dari pancuran tersebut. Lelaki itu bernama Wangsanaya. Ia datang bersama salah seorang petani yang tampak sungkan kepadanya. Wangsanaya pun meminta izin kepada sekelompok pasukan Banten itu untuk mengambil air dari mata air yang sudah dialirkan ke belahan batang bambu tersebut.

“Mohon maaf, saya meminta izin untuk mengambil kebutuhan air yang biasa kami ambil disini,” pintanya kepada orang-orang Banten.

“Mangga ambil saja, kisanak. Ini adalah air berkah dari Allah yang siapapun berhak untuk memanfaatkannya. Bahkan melihat bahwa kisanak adalah orang yang biasa mengambil air dari sini, sepertinya kisanaklah pembuat dan pemilik pancuran ini?” jawab salah seorang pejuang yang tampaknya adalah pemimpin pasukan Banten tersebut.

Wangsanaya tersenyum dan menganggukkan kepalanya menandakan bahwa ia memang pembuat air pancuran tersebut. Namun ia tetap mengizinkan orang-orang Banten itu meminum dan memanfaatkannya. Wangsanaya berkata kepada mereka, “seperti halnya kisanak sampaikan tadi, air ini adalah rezeki Allah yang dicurahkan kepada kita semua. Tidak hanya untuk saya, namun juga kisanak yang membutuhkannya.”

Pertemuan antara Wangsanaya dan kelompok pasukan Banten itu berakhir damai. Tidak ada gesekan ataupun perselisihan, meskipun sebetulnya keduanya memiliki sikap yang berbeda terhadap kekuasaan yang tengah berjalan. Setelah mengambil air, Wangsanaya kembali ke ladangnya untuk ngahuma. Sementara pasukan Banten, segera pergi ke arah barat daya untuk menghindari kejaran pasukan Kompeni.

Dalam catatan arsip statis tahun 1686, Wangsanaya diketahui adalah kepala cacah pemukiman bernama CIPANCUR. Ia membawahi empat keluarga cacah, dan berada di bawah pengawasan Pangeran Gebang. Tampaknya Wangsanaya adalah orang Sunda tulen, karena meski di bawah kekuasaan Gebang yang berbudaya Jawa, daerah itu tetap berbudaya Sunda. Bahkan hingga sekarang tetap mencirikan bahwa mereka adalah masyarakat Sunda.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

20,753FansSuka
3,868PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles