Kamu pernah mendengar negara bernama Suriname?
Suriname merupakan sebuah negara kecil di Amerika Selatan dengan Paramaribo sebagai ibukotanya. Berdasarkan data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini populasi penduduk di Suriname mencapai 586.632 jiwa.
Menariknya, dari keseluruhan jumlah penduduk di Suriname, 22,9% di antaranya merupakan keturunan imigran Indonesia, yaitu orang-orang bersuku Jawa.
Berbagai kebudayaan Jawa masih melekat dalam penduduk Jawa di Suriname hingga saat ini.
Mau tahu ceritanya? Simak artikel di bawah, ya!
Masyarakat Jawa menjadi pekerja kontrak di Suriname
Sebelum istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seperti yang ada saat ini, Indonesia pernah mengirimkan ratusan tenaga kerja ke Suriname.
Sama seperti yang terjadi di Indonesia, kolonialisme juga terjadi di Suriname. Di negara yang sebelumnya disebut sebagai Dutch Guyana atau Sranang itu pernah terjadi sistem perbudakan.
Karena sistem perbudakan mulai dilarang pada 1863, pemerintah Hindia Belanda terpaksa membayar pekerja kontrak yang berasal dari India-Britania. Namun, pekerja-pekerja tersebut banyak memberontak dan selalu menuntut upah yang lebih besar. Saat Hinda Belanda menjalankan pemerintahan di Suriname pada 1800an, Indonesia juga masih menjadi negara kolonial mereka. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mendatangkan imigran dari Indonesia untuk bekerja di perkebunan yang sebelumnya diurus oleh para budak.
Imigran Jawa yang sebagian besar dari Jawa tengah datang pertama kali ke Suriname pada 1890. Mereka berjumlah 97 orang dan ditempatkan di sebuah perkebunan terbesar di Suriname. Sesuai perjanjian, mereka bisa pulang ke tanah air jika kontrak mereka sudah selesai.
Gelombang berikutnya yaitu tahun 1984, imigran yang datang adalah 582 orang. Setelah itu, terdapat rata-rata 700 imigran dari tanah Jawa yang didatangkan ke Suriname setiap tahunnya.
Setelah 1916, jumlah imigran Jawa semakin ditambah karena kontrak pekerja dari India-Britania resmi diputus.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, jumlah pekerja imigran Jawa mencapai 30.000 orang. Hampir 8000 di antaranya kembali ke tanah air setelah perang berakhir. Hal ini dikarenakan setelah kontrak mereka berakhir, pemerintah Hindia Belanda memberikan tiga pilihan kepada para imigran Jawa, yaitu kembali ke tanah air, menjadi petani di Suriname, atau memperpanjang kontrak untuk bekerja di perkebunan.
Saat isu kemerdekaan Indonesia mulai digemparkan, imigran Jawa yang masih tinggal di Suriname merasa ingin kembali ke tanah air. Akhirnya Pemerintah Belanda memberi waktu 2 tahun untuk mereka memilih menjadi warga Indonesia atau warga Belanda.
Dari sana muncullah 2 partai politik yang dibentuk oleh orang Jawa di Suriname, yaitu Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI) yang setuju bahwa mereka ingin bergabung menjadi WNI, dan Persekutuan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS) yang memilih bergabung menjadi warga negara Belanda.
Pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949, seorang pegiat partai PBIS bernama Salikin ditunjuk menjadi wakil warga Jawa di Suriname. Keputusan PBIS menjadi warga negara Belanda akhirnya berubah setelah mendengar adanya pengakuan kedaulatan.
Pada 1951, Salikin mendirikan Jajasan ke Tanah Air (JTA) untuk mendorong imigran Jawa di Suriname segera pulang ke Indonesia. Permintaan untuk kembali ke Indonesia oleh anggota JTA yang saat itu berjumlah 2000 keluarga disetujui oleh pemerintah Indonesia.
Namun, saat itu populasi penduduk di Pulau Jawa sangat tinggi. Pemerintah pun berinisiatif menyiapkan lahan kosong seluar 2500 Ha di sebuah wilayah di Sumatera Barat. Tempat ini mulai dihuni imigran Jawa Suriname pada 1954.
Sayangnya, di tempat tersebut orang Jawa Suriname bisa dikatakan hidup kurang sejahtera. Ditambah lagi keadaan di sana dianggap kurang nyaman. Akhirnya sebagian besar dari mereka memutuskan pindah ke Padang pada 1959 dan memutuskan kembali ke Suriname pada 1964.
Orang Jawa di Suriname saat ini
Saat Didi Kempot meninggal dunia pada Mei 2020 lalu, ada berita di Media yang menyatakan bahwa orang Jawa di Suriname juga turut berduka cita. Hal ini dikarenakan lagu-lagu Didi Kempot sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Suriname.
Bukan hanya itu, dari segi bahasa, mereka juga banyak memakai Bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun dialeknya sudah dipengaruhi oleh Bahasa Belanda.
Saat ini, masyarakat keturunan Jawa di Suriname sudah mencapai 76.000 orang dan merupakan etnis ketiga terbesar di negara tersebut. Tidak heran, makanan-makanan khas Indonesia seperti soto, pecel, dan gethuk juga kerap ditemukan di pasar-pasar besar di Suriname.
Demikian fakta-fakta tentang masyarakat Jawa di Suriname. Bagaimana? Tertarik melancong ke negara tersebut?