Pohon bermutu tinggi. Batangnya dapat tumbuh sangat besar, cocok untuk dijadikan penyangga bangunan. Bentuknya secara umum lurus dan dapat tumbuh hingga ketinggian 50 meter atau bahkan lebih jika usianya jauh lebih tua. Hal ini tak menyulitkan pengolahan jati sebagai tiang atau saka konstruksi.
Pohon ini menurut ahli botani konon berasal dari Burma, dan menyebar ke seantero Asia Tenggara, termasuk ke Kepulauan Nusantara. Jawa adalah salah satu tempat yang paling cocok untuk tumbuh kembang bagi pohon tersebut. Di pulau yang beriklim tropis itu, jati tidak hanya hidup namun juga menghidupi.
Sejak terhubung dengan India dan Cina melalui Jalur Sutra Maritim, Jawa dikenal sebagai produsen jati yang sangat berkualitas. Kekuatan jati Jawa diakui, bahkan mendapat predikat unggulan di antara pelbagai tempat lain yang juga menyediakan pohon tersebut. Jati Jawa kuat untuk bahan pembuatan tempat tinggal dan alat transportasi.
Hingga Abad Pertengahan, jati Jawa tetap jadi primadona. Di awal Abad 16 M, Pires secara implisit menyatakan hal itu dalam magnum opusnya. Ia juga menyebut Cirebon sebagai produsen kayu jati yang masyhur. Kualitas jati disana disebutkan sangat tinggi sehingga banyak yang mencari jati Cirebon untuk dijadikan bahan kapal.
Toponim desa dan sejumlah tempat, menguatkan klaim Pires tentang bagaimana jati menjadi begitu dekat dengan masyarakat Cirebon pada masa lalu. Jati tumbuh bersama orang yang hidup di kota pelabuhan tersebut. Tidak hanya itu, nama tokoh paling agung dari tanah Cirebon juga sangat identik dengan pohon tersebut.
Namun kini jati di Cirebon tidak seharum dulu. Kebesarannya tinggal romantika. Pohonnya juga sudah sedikit yang bersisa. Kalaupun ada, itu adalah jati kecil yang baru saja ditanam demi kepentingan tertentu. Tidak ada lagi hutan jati yang besar nan lebat, dan pantas menjadi simbol Cirebon yang sejati.