Pandemi Covid-19 yang masih jauh dari kata selesai serta mulai berlakunya tahun ajaran baru, membuat kegiatan belajar mengajar kembali dilakukan secara daring atau online.
Meski gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 sudah mengeluarkan daftar kota dan kabupaten berstatus zona hijau, nampaknya kegiatab belajar tatap muka masih belum memungkinkan.
Walaupun kegiatan belajar mengajar online dapat menjadi solusi, nyatanya masih menyisakan masalah bagi orang tua maupun siswa. Kesenjangan sosial dan belum meratanya infrastruktur membuat orang tua siswa merasa berat jika anaknya harus sekolah online.
Seperti yang dialami orang tua siswa Martini. Dilansir dari laman pojokbekasi.com, wanita yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga ini mengaku menghabiskan Rp150.000 hanya dalam waktu dua hari untuk membeli kouta internet.
Menurutnya sistem sekolah online yang menggunakan sistem video conference selama jam pelajaran membuatnya dirinya kewalahan untuk membeli kuota sedangkan kebutuhan sehari-hari kerap kurang.
Keterbatasan teknologi dan akses internet menjadi masalah pembelajaran sistem online di Siberut Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit mengungkapkan jika kegiatan belajar mengajar online di Mentawai tidak efektif.
Nasrul menyebut tidak semua guru dan siswa memiliki ponsel pintar dan tersentuh jaringan internet, khususnya yang berada di desa terpencil kepulauan.
Kesulitan lain yang harus dihadapi siswa saat belajar online adalah sulitnya sinyal seluler, terutama bagi mereka yang berada di pelosok.
Seperti yang dialami sejumlah siswa SD Negeri I Inten Jaya, Kecamatan Cimaraga, Kabupaten Lebak, Banten. Dikutip dari Inews.id, mereka terpaksa menaiki bukit agar dapat mengikuti pelajaran karena tidak adanya sinyal di rumah.
Untuk sampai ke bukit, para siswa SD Negeri I Inten Jaya harus rela menyusuri hutan agar bisa mencapai bukit. Bukan cuma itu,mereka juga dibayangi kekhawatiran diserang binatang buas maupun berbisa selama belajar di hutan.
Seorang siswi SDN 1 Inten Jaya, Silvi Alvianti mengaku dia dan teman-temannya harus pergi menyusuri hutan sejauh 200 meter untuk mencapai bukit agar mendapatkan sinyal internet.
Selama belajar di tengah hutan, para siswa itu didampingi sejumlah orang tua untuk mengantisipasi jika anak mereka diserang binatang liar seperti ular dan babi hutan.
Hal yang sama dialami sejumlah siswa SD Inpres Lewokoli, di Desa Aransina, Kecamatan Tanjung Bunga. Mereka harus berjalan kaki lebih dari satu jam dari pagi untuk mencari satu-satunya titik lokasi yang ada koneksi internet.
Dikutip dari Media Indonesia, Gabriel, seorang siswa Kelas 4 SD Inpres Lewokoli bersama beberapa siswa lainnya berangkat pukul 08.00 WITA untuk pergi ke bukit mencari sinyal internet. Tidak mudah untuk mencapai titik lokasi tersebut, lebih-lebih jika turun hujan.
Di momen Hari Anak Nasional ini, sudah seharusnya pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mencari solusi agar anak-anak Indonesia terutama di usia sekolah agar dapat belajar maksimal meski harus lewat sistem online.
Pemerataan infrastruktur wajib digenjot supaya tidak ada lagi siswa yang harus mendaki bukit dari pagi hanya untuk mengerjakan tugas sekolah.