30.4 C
Indonesia
Saturday, September 23, 2023
spot_img

Pembagian Wilayah Cirebon Dari Masa Ke Masa

Sejak dirintis oleh Pangeran Walangsung a.k.a Pangeran Cakrabuana di era Pajajaran akhir, Cirebon telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Pedukuhan kecil yang semula hanya dihuni segelintir orang, tiba-tiba berubah menjadi sangat maju dan menjelma menjadi kekuatan politik yang tidak dapat dipandang sebelah mata eksistensinya oleh pelbagai kerajaan yang ada di Nusantara. Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Portugis, tahu betul bagaimana kuatnya Cirebon pada masa itu karena kekuatan mereka di Sunda Kelapa dihancurkan tanpa sisa.

Kebesaran Cirebon semakin tampak saat tampuk kepemimpinan beralih pada keponakan Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Cakrabuana), yakni Syarif Hidayatullah yang masyhur dengan nama Susuhunan Maulana Jati atau Sunan Gunung Jati yang mana nama itu dinisbatkan pada tempatnya banyak beraktivitas menjelang wafatnya guna mengamalkan ilmu dan ajaran Islam kepada masyarakat di wilayah Cirebon bagian utara. Di dekat sana, dipusarakan pula orang-orang yang sangat dicintainya, termasuk Putri Ong Tien, leluhur banyak orang Luragung.

Pamor Cirebon mulai menurun, terutama saat pucuk kepemimpinan dipegang oleh Pangeran Karim atau Pangeran Rasmi yang tunduk pada kekuasaan Mataram. Pada masa itu, Cirebon dirongrong tiga kekuatan Jawa yang tengah naik daun, yaitu Banten, Kompeni, dan Mataram. Terjepit di antara persaingan tiga kekuasaan besar, Cirebon tidak dapat berbuat apa-apa. Daerah yang dulu sempat banyak mengalami kemajuan, ketika itu hanya menjadi daerah bawahan. Kekuatan pasukan dan peralatan peperangan yang dimiliki Cirebon sangat tertinggal.

Saat berada di Mataram, Pangeran Karim meninggal dunia, ia dimakamkan di Bukit Girilaya sehingga sosoknya itu dikenal pula sebagai Panembahan Girilaya. Pada 1677, Kraton Mataram hancur dan kedua putra tertua Pangeran Karim berhasil selamat, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya. Bersama adiknya yang berada di Cirebon, yakni Pangeran Wangsakerta, ketiga putra Pangeran Karim mendapat perlindungan Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Bahkan, ketiganya dinobatkan sebagai penguasa Cirebon yang baru, meski saat itu Cirebon jadi terbagi ke dalam tiga kekuasaan yang berlainan satu sama lain.

Pada 1697, Sultan Sepuh I meninggal dunia. Kedua putra terpentingnya merasa berhak atas tahta, sehingga kemudian wilayah Kasepuhan terdikotomikan ke dalam dua bagian, yaitu milik Sultan Sepuh II dan Sultan Kaaryaan (Kacirebonan Awal) I. Tokoh Pangeran Arya Cirebon yang menjadi Sultan Kaaryaan ini sangat berwibawa dan memiliki pengaruh yang sangat besar di tengah masyarakat serta para petinggi bangsawan Priangan, sehingga diangkat sebagai pengawas bupati-bupati seluruh Priangan sejak awal Abad XVII hingga ajal menjemputnya. Dengan demikian, Cirebon pada masa itu sudah terbagi ke dalam empat wilayah kekuasaan.

Pada pertengahan Abad XVII, keturunan Pangeran Wangsakerta selalu perempuan sehingga secara tradisi tidak layak dijadikan sebagai pemimpin. Kendala dalam suksesi juga terjadi di Kaaryaan karena para penerus Pangeran Arya Cirebon (Sultan Kaaryaan) tidak ada lagi yang sehebat dirinya, bahkan beberapa di antaranya malah melakukan pelanggaran hukum tertentu sehingga dibuang oleh Kompeni ke luar Jawa. Dengan alasan itu, wilayah milik Wangsakerta dan Arya Cirebon dileburkan, dan di Cirebon hanya tinggal dua kekuasaan, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.

Intervensi Kompeni dan Belanda yang terlalu dalam di Kraton membuat para pangeran tidak akur satu sama lain. Di Kasepuhan, prahara politik hingga pembunuhan terhadap sultan terjadi. Banyak pangeran Kasepuhan yang mengutuk hal ini. Sementara di Kanoman, suksesi yang tidak sejalan dengan keinginan Belanda membuat konflik menjadi tersulut. Para pangeran dari 2 kraton yang tidak menyukai Belanda, akhirnya mengangkat senjata bersama rakyat untuk melawan mereka. Beberapa pejuang berstatus bangsawan tersebut adalah Pangeran Raja Kanoman dan Pangeran Suryanegara.

Meski sempat unggul dan memenangi beberapa front pertempuran, pada akhirnya pasukan kolonial berhasil menghancurkan perlawanan dan perjuangan rakyat Cirebon. Keunggulan strategi militer dan teknologi perang merupakan kunci terpenting kemenangan tersebut. Para pejuang yang tertangkap, dieksekusi dan diberi hukuman berat. Sementara pejuang yang berhasil melarikan diri, membaur dengan masyarakat dan melancarkan perlawanan yang senyap dari kawasan pedesaan dan pedalaman. Kasus pengambilan uang pajak untuk Belanda di Cilimus, Kuningan, adalah contohnya.

Karena statusnya sebagai sosok penting kraton, Belanda tidak berani berbuat lebih terhadap P. Raja Kanoman. Belanda sadar bahwa mengeksekusinya hanya akan membuat perlawanan rakyat menjadi berkobar kembali. Oleh sebab itu, dengan terpaksa ia diangkat sebagai Sultan Pertama Kraton Kacirebonan (yang masih eksis hingga sekarang), namun dengan kekuasaan yang terbatas. Meski menjadi sultan, P. Raja Kanoman tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan memilih tinggal di kediaman keluarga di Sunyaragi. Gaji dan fasilitas yang ditawarkan kolonial pun ditolaknya dengan tegas.

Dengan demikian, sejak awal Abad XIX, Cirebon kembali memiliki 3 kraton, yang terus bertahan di tengah zaman hingga tetap dapat eksis sampai sekarang. Bagaimanapun rangkaian sejarah dan cerita terkait ketiga Kraton Cirebon, pada akhirnya ketiganya tetap memiliki andil yang besar terhadap kondisi dan perkembangan masyarakat saat ini. Tidak ada hitam dan putih dalam sejarah, semuanya bergantung pada sisi baik mana yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dan hikmah. Belajarlah sejarah, agar bisa merengkuh hikmah dan melangkah dengan terarah menuju masa depan yang cerah!

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

20,753FansSuka
3,868PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles