20.4 C
Indonesia
Saturday, September 23, 2023
spot_img

Peace Treaty Pajajaran-Cirebon: Perjanjian Perdamaian dengan Dasar Kekeluargaan

Pada tahun 1482, Prabu Jayadewata dinobatkan sebagai penguasa Sunda-Galuh dan berkedudukan di Keraton Sanghyang Sri Ratu Dewata, Kedatuan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, Pakuan Pajajaran. Batu penobatannya adalah batu sakral yang dibuat oleh Prabu Susuktunggal bernama Sriman Sriwacana. Keterangan ini, didapat dari cerita yang terkandung dalam manuskrip kuno Carita Parahyangan yang berbunyi: Sang Susuktunggal inyana nu nyieu(n)na pala(ng)ka Srimana Sriwancana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran, nu mikadatwan Sri Bima (P)unta (Na)rayana Madura Suradipati; inyana Pakwan Sanghiya(ng) Sri Ratudewata (Atja dan Saleh Danasasmita, 1981: 14, 34). Melihat nama keratonnya, saya sempat curiga bahwa istana itu terdiri dari bangunan yang tidak tunggal karena saking besarnya. Ternyata, asumsi itu dapat terkonfirmasi dengan berita-berita Portugis tentang Keraton Sri Baduga Maharaja tersebut.

Bersamaan dengan peristiwa besar di tahun 1482 itu, Cirebon yang telah dipimpin oleh Syarif Hidayat (yang masyhur sebagai Susuhunan Maulana Jati) memilih untuk menjadi suatu kekuasaan yang mandiri dan lepas dari kekuasaan Kerajaan Sunda-Galuh. Upeti rutin Cirebon berupa rebon dan hasil laut lainnya sebagai tanda bakti daerah yang dikirimkan setiap tahun pun, sejak saat itu resmi dihentikan. Mendapati hal itu, Sri Baduga sempat meradang dan berencana untuk mengirimkan balatentara yang besar guna menghukum Cirebon atas tindakan yang dianggapnya sebagai pembangkangan daerah terhadap pusat kerajaan. Namun, menurut Danasasmita (2014: 64) rencana penyerbuan itu dapat dicegah oleh purohita Purwa Galih yang mengingatkan kepada sang maharaja bahwa Syarif Hidayat dan Pangeran Cakrabuana masih memiliki hak waris kerajaan karena masih terhitung sebagai cucu dan putra Sri Baduga sendiri.

Dalam beberapa waktu selanjutnya, pergerakan kekuasaan Cirebon yang disokong oleh Demak semakin maju dan berkembang. Pasca wafatnya Sri Baduga Maharaja pada tahun 1521 M, kemajuan Cirebon sudah tidak dapat dibendung lagi. Kawasan pesisir berhasil didudukinya satu persatu dengan baik. Bahkan, kota-kota pelabuhan yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Sunda-Galuh, kemudian dapat dikuasai dan berada di bawah kekuasaan Cirebon. Pada paruh kedua tahun 1520-an, pasukan Cirebon-Demak berhasil merebut Banten dan Sunda Kelapa, dua pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda (Brandes, 1911; Djajadiningrat, 1913). Namun gabungan pasukan “putih” pesisir itu tidak melanjutkan serangan militernya ke ibukota Pakuan Pajajaran. Di samping masih menghormati penguasanya sebagai keluarga yang lebih tua, pasukan artileri atau kekuatan militer darat Cirebon tidak sekuat pasukan artileri Kerajaan Sunda yang teruji dalam perang-perang terbuka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam bidang maritim, kekuatan Cirebon-Demak jauh lebih unggul ketimbang kekuatan Kerajaan Sunda. Hal itu disebabkan peralatan perang kelautan yang dimiliki oleh Cirebon-Demak termasuk yang paling modern dan paling maju pada masanya. Selain disokong para pelaut terlatih, mereka juga memiliki senjata yang memadai seperti meriam dan senjata api lainnya. Direbutnya seluruh pelabuhan Sunda, adalah bukti konkret atas keunggulan bidang maritim Cirebon tersebut. Namun meski demikian, kekuatan darat Sunda tetap lebih unggul. Hal itu dapat dilihat saat dikalahkannya pasukan darat Cirebon dalam Perang Gunung Gempol tahun 1528 M. Atas kelalaian kepemimpinannya dalam perang itu, status “istimewa” Pangeran Kuningan sebagai calon penerus Syarif Hidayat dicabut kembali. Terkait hal ini, bisa dibaca narasi singkat saya dalam buku 5 Januari 1819: Hari Jadi Kabupaten Kuningan.

Pasca perang itu, memang tidak terlihat adanya perang besar kembali di antara kedua kerajaan, namun meskipun begitu perang dalam eskalasi yang lebih kecil tetap saja terjadi. Prabu Surawisesa yang menjadi suksesor Sri Baduga Maharaja bahkan dikenal sebagai seorang ksatria dan pemimpin tentara yang sangat gagah berani dalam peperangan. Dengan 1000 pasukan inti Bela-Mati yang selalu setia bersamanya, Surawisesa dapat memadamkan banyak pemberontakan dalam negeri dan menahan serangan kecil yang datang dari wilayah pesisir. Carita Parahyangan, yang memuat banyak berita tentang Kerajaan Sunda, memberitakan bahwa dalam masa pemerintahan Surawisesa yang berlangsung selama 14 tahun, telah terjadi banyak sekali peperangan. Bahkan, jumlahnya itu hingga mencapai angka 15 perang.

Memasuki tahun 1530-an, kondisi itu segera berubah karena masing-masing pihak, baik itu Sunda ataupun Cirebon, merasa bahwa peperangan itu telah sangat merugikan mereka. Timbul kesadaran bahwa hubungan kekeluargaan yang selama ini rusak akibat perebutan kekuasaan, mesti kembali dikuatkan karena perpecahan tidak pernah menghasilkan kebahagiaan namun hanya membawa penderitaan. Oleh sebab itu, pada tahun 1531, Peace Treaty (perjanjian perdamaian) antara Pajajaran dengan Cirebon disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sumber tentang peristiwa ini adalah naskah Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara parwa III sarga 1, yang mana perjanjian itu didasari pertimbangan persaudaraan di antara kedua raja, maka keduanya berjanji tidak akan saling menyerang dan masing-masing berdiri sebagai negara merdeka yang berdaulat (swangsowang ngadeg mahardhika, silih atuntunan tangan, haywa ta silih amerep, haywa hana wiwada pantara ning kita).

Lembaran naskah perjanjian yang dibubuhkan kedua belah pihak, diwakili oleh penguasa dan para pembesar masing-masing kerajaan. Dari pihak Sunda, terdapat tanda tangan Surawisesa beserta tanda tangan para pejabat Kerajaan Sunda. Sedangkan dari pihak Cirebon, Syarif Hidayat memberikan tanda tangannya bersama dengan raja daerah di bawahnya seperti Bupati Banten (Hasanudin), Bupati Sunda Kelapa (Fahillah), dan putera mahkota Cirebon (Abdul Arifin, Pangeran Pasarean). Sejak ditekennya kesepakatan oleh Surawisesa dan Syarif Hidayat ini, peperangan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak pernah terjadi lagi. Perang baru meletus kembali saat kedua pemimpin kharismatik itu meninggal dunia. Dengan hadirnya perjanjian tahun 1531, Surawisesa dapat membereskan urusan dalam negerinya, yaitu memadamkan gejolak internal kerajaan dan menghidupkan kembali tradisi kerajaan seperti mengadakan upacara Srada untuk mendiang Sri Baduga Maharaja dan membuat Prasasti Batutulis. Sementara itu di Cirebon, perjanjian damai itu turut menjamin keamanan dakwah Islam yang dikembangkan oleh Sunan Maulana Jati ke wilayah Priangan Timur.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

20,753FansSuka
3,868PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Articles