Pesona Aceh yang kental dengan sisi religi, adat, dan budaya memang tak akan habis diceritakan dalam satu malam. Masyarakat yang memegang teguh hukum islam serta semangat kebangkitan pasca bencana Tsunami Aceh pada 2004 silam seolah merepresentasikan Masjid Raya Baiturrahman yang masih gagah berdiri sampai saat ini.
Masjid Raya Baiturrahman dibangun pada tahun 1621 saat masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang namanya dikenal sebagai sultan terbesar dalam masa kesultanan Aceh. Pada masa penjajahan kolonial Belanda tahun 1873 terjadi penyerangan di kesultanan Aceh yang menjadikan Masjid Raya Baiturrahman sebagai benteng pertahanan terhadap serangan Belanda. Perlawanan pasukan Belanda berdampak pada terbakarnya atap masjid dan terjadi kebakaran yang merusak hampir seluruh bagian masjid.
Sebagai upaya untuk meredam kemarahan masyarakat Aceh, Jendral Van Swieten berjanji kepada pemimpin setempat untuk membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman. Kemudian hal itu terealisasi pada tahun 1879, dilakukan kontruksi pertama dengan diletakannya batu pertama oleh Tengku Qadhi Malikul Adil yang merupakan imam pertama Masjid Baiturrahman.
Pembangunan selesai di tanggal 27 Desember 1881 pada masa pemerintahan Muhammad Daud Syah yang merupakan sultan terakhir di kesultanan Aceh. Bentuk interior yang tidak biasa, seperti dinding dengan relief, lantai yang langsung didatangkan dari tanah Tiongkok, pintu kayu dengan dekorasi, awalnya membuat masyarakat menolak untuk beribadah di Masjid ini karena dinilai sebagai hasil karya kaum non muslim. Namun, seiring berjalannya waktu masyarakat mulai menerima sampai saat ini Masjid Baiturrahman menjadi ikon kebanggan rakyat Aceh.
Namun, sumber lain pun menyebutkan bahwa Masjid Raya Baiturrahman sudah berdiri jauh sebelum itu, disebutkan pada tahun 1292 pada masa kejayaan Sultan Alaidin Johan Mahmud Syah. Arsitektur asli Masjid kerajaan ini adalah bentuk atap berupa jerami yang berlapis-lapis. Kemudian benturan antar aliran agama terjadi pada masa pemerintahan kerajaan Sri Ratu Nurul Alam Naaqiatuddin yaitu selama tiga tahun terhitung sejak 1675 sampai 1678.
Konflik semakin memanas sehingga mengakibatkan Masjid Raya Baiturrahman dan istana yang berdekatan dengan masjid pun lenyap terbakar tanpa sisa termasuk hasil karya sastra Nuruddin Sumatrani, Hamzah Fanzuri, dan Nuruddin Ar-Raniry. Mereka merupakan tokoh sastrawan yang berpengaruh saat itu. Hal ini menjadi sebuah tragedi intelektual sepanjang sejarah tanah Aceh. Pengurus Masjid Raya Baiturrahman Drs Tgk H Ridwan Johan menuturkan “Konon asapnya baru menghilang tujuh hari kemudian dan abu buku itu menghitampekatkan Krueng Aceh, sungai yang berada 200 meter dari lokasi.”
Dari runtuh dan berdirinya kembali Masjid Raya Baiturrahman di masa lampau, menjadikan masjid yang terbesar di tanah Aceh ini mempunyai banyak cerita dengan spirit kebangkitan yang sangat kuat. Nilai ini yang patut diteruskan ke anak cucu kita nanti ya, teman-teman.