Masuk era new normal, masyarakat berbondong-bondong membeli sepeda. Bersepeda menjadi tren tidak hanya dewasa, namun hingga anak-anak.
Sempat beredar isu, pemerintah dalam hal ini kementerian perhubungan akan menarik pajak sepeda. Isu tersebut dibantah Kemenhub.
Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati menyebut bukan regulasi pajak sepeda, melainkan regulasi pendukung keselamatan bersepeda.
Pajak sepeda sendiri memang pernah diberlakukan di Indonesia. Sejarah pajak sepeda dimulai pada pemerintahan kolonial.
Dikutip dari Historia.id, sejak 1930-an, pemerintah kolonial menerapkan pajak kepada tiap pemilik sepeda. Selayaknya kepada pemilik kendaraan tak bermotor lain seperti delman, sado, dan gerobak. Pengecualian kepada pesepeda dari kepolisian dan militer.
Besaran pajak sepeda berbeda di tiap wilayah, sesuai dengan semangat desentralisasi pemerintahan sejak 1905.
Pemerintah kolonial menggunakan pajak ini untuk merawat jalan. Tapi pesepeda protes tersebab lajur untuk mereka mudah rusak.
Pada masa pendudukan Jepang, penerapan pajak sepeda tetap diberlakukan. Pemerintah pendudukan Jepang mempertahankan penerapan pajak. Bukan untuk memperbaiki jalan atau infrastruktur lainnya, uang hasil pajak sepeda dipakai Jepang untuk kebutan perang. Seperti misalnya membeli senjata.
Pengumuman terhadap besaran dan batas waktu pembayaran pajak sepeda kerap muncul di surat kabar. Cara ini bertahan hingga Indonesia masuk masa merdeka. Kali ini uang hasil pajak sepeda digunakan kembali untuk perawatan jalan.
Pesepeda harus membawa sepedanya ke Balai Kota atau kantor bendahara kota. Orang tak menganggap berat pajak sepeda.
Pesepeda memang tidak perlu surat izin mengemudi (rijbewijs). Tidak pula ada batasan umur untuk pesepeda. Tapi mereka tetap wajib mematuhi aturan bersepeda dan kelengkapan sepeda. Termasuk pula pembayaran pajak.
Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan diganjar hukuman dari polisi atau pemerintah. Bentuknya bervariasi: penjara, denda, dan penghentian sementara operasional sepeda.