Tanggal 26 Juli setiap tahunya diperingati sebagai hari mangrove internasional oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Sebuah badan PBB yang menangani keilmuan dan kebudayaan.
Mangrove atau dikenal juga dengan bakau merupakan sebagai salah satu jenis keanekaragaman hayati di wilayah pesisir laut yang memiliki banyak khasiat.
Selain sebagai pelindung dari bencana abrasi, mangrove juga menjadi penyerap karbondioksida (CO2) dan menjadi bagian dari karbon biru (blue carbon) yang ditangkap dan disimpan di samudra dan ekosistem pesisir.
Lebih jauh lagi, Mangrove ternyata mempengaruhi peradaban Nusantara di masa lampau. Menurut Etnobiolog dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ary Prihardyanto Keim, seperti dikutip dari Mongabay.com, pada zaman es, bangsa Austronesia yang salah satunya mendiami Nusantara memanfaatkan mangrove atau bakau sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Seperti untuk kebutuhan keseharian seperti makanan, bahan bangunan, pembuatan kapal, dan juga sebagai pewarna alami dan obat. Berlanjut hingga ke zaman kerajaan, Mangrove atau bakau masih memberi pengaruh bagi kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Kerajaan di Nusantara membangun peradaban dengan menyusuri wilayah laut melalui pelayaran samudera. Dalam perjalanannya menyusuri laut, pelayar kerajaan tersebut melalui kawasan bakau yang tersebar di wilayah pesisir.
Sriwijaya disebut-sebut sebagai kerajaan pertama yang menjadikan mangrove sebagai bagian dari pembentukan peradaban. Sama seperti Sriwijaya, kerajaan Majapahit juga membentuk peradaban tak bisa dilepaskan dari mangrove. Pengaruh mangrove bisa dilihat dari sebaran wilayah kekuasaan Majapahit.
Majapahit di era kejayaannya mampu menjangkau wilayah bagian utara dari benua Australia. Jangkauan tersebut mengikuti sebaran mangrove yang juga sampai ke benua Australia.
Diketahui juga nelayan-nelayan Majapahit saat mencari tangkapan ikan akan menyusuri wilayah pesisir laut yang jika di sekitarnya ditemukan kawasan bakau. Pada masa itu, nelayan Majapahit menjadikan teripang sebagai komoditi ekspor ke China.
Meski memiliki peran penting dalam peradaban sejarah Nusantara, keberadaan hutan mangrove di tanah air bisa dibilang memprihatinkan. Dikutip dari saintif.com, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut 1,81 juta hektar mangrove di Indonesia rusak.
Nilai itu setara tiga kali lebih luas dibanding luas Pulau Bali. Penyebab utama kerusakan hutan mangrove tidak lain adalah karena tindakan manusia. Hutan mangrove dirusak agar dapat beralih fungsi menjadi lahan wisata, pembangunan infrastruktur, pemukiman, dan penebangan liar.