Beranda Tokoh Dipati Ukur dan Perjalanan Hidupnya Yang Mengenaskan

Dipati Ukur dan Perjalanan Hidupnya Yang Mengenaskan

0
Ilustrasi Adipti Ukur

Wangsanata adalah putra Pangeran Adipati Cahyana yang berasal dari Jambu Karang yang kini terletak di wilayah Banyumas. Ia terpaksa menyingkir ke wilayah Priangan karena daerah leluhurnya itu dikuasai oleh Panembahan Senopati dan hegemoninya itu terus berlanjut hingga diteruskan oleh para keturunannya. Setidaknya begitulah yang dituliskan Naskah Sunda Mangle Arum terkait asal usul Wangsanata, yang kelak dikenal sebagai Dipati Ukur.

Tempat tinggal Wangsanata di wilayah Pasundan adalah Tatar Ukur, wilayah yang dikuasai oleh Adipati Ukur Agung. Tampaknya daerah ini adalah kerajaan yang tidak terlalu besar karena gaungnya tidak sekeras kerajaan-kerajaan Sunda lain. Sebut saja Kerajaan Galuh, Kerajaan Pakuan, dan bahkan Kerajaan Sumedang Larang. Namun demikian, Tatar Ukur menjelma menjadi masyhur karena keberanian pemimpinnya dalam menentang sikap keras Sultan Agung Mataram.

Di Ukur, Wangsanata berkembang menjadi pemuda yang giat, tekun, dan lincah. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu tidak hanya menarik perhatian Adipati Ukur Agung, namun juga menarik cinta putri sang adipati. Tidak ingin kehilangan kesempatan, penguasa Tatar Ukur itupun segera menikahkan putrinya dengan Wangsanata. Semenjak itu, posisi Wangsanata di kerajaan Ukur semakin kuat. Ketika mertuanya tutup usia, Wangsanata naik tahta menggantikannya. Dengan posisinya itu, Wangsanata pun dikenal sebagai Dipati Ukur, penguasa Tatar Ukur.

Dalam artikel jurnal yang berjudul “Dipati Ukur dan Jejak Peninggalannya di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung (1627-1633)”, Lasmiyati menungkapkan bahwa Ukur memiliki wilayah yang sangat luas dan mencakup beberapa bagian wilayah sejumlah kabupaten di Jawa Barat saat ini. Menurutnya, wilayah yang ada dalam kekuasaan Dipati Ukur meliputi Sumedang Larang, Karawang, Pamanukan, Ciasem, Indramayu, Sumedang, Sukapura, Limbangan dan Timbanganten.

Sementara itu, di Mataram, Sultan Agung tengah menggalakkan politik ekspansif. Setelah berhasil menguasai daerah-daerah di Jawa Timur, penguasa terbesar Mataram itu pun berencana melakukan penyerangan ke Batavia, yang ketika itu mulai berkembang sebagai kekuatan yang mengancam. Untuk mendukung perangnya, Sultan Agung mewajibkan penguasa-penguasa Priangan yang ada di bawah hegemoninya untuk mengikuti perang tersebut. Karena penguasa Sumedang memiliki kasus yang belum selesai, Sultan Agung memilih Dipati Ukur untuk menjadi komando orang-orang Pasundan.

Pada tahun 1628, perang akan segera bergejolak. Dipati Ukur (yang menjadi komandan pasukan Pasundan) bersepakat dengan Tumenggung Bahurekso (yang menjadi komandan pasukan Jawa Mataram) untuk bertemu di Karawang, namun pertemuan itu tidak pernah terjadi sehingga keduanya melakukan penyerangan ke Batavia dalam waktu yang berlainan. Penyerangan yang tidak efektif itu tentunya mudah dipatahkan oleh tentara-tentara Kompeni yang memiliki persenjataan lebih maju. Oleh sebab itu, baik pasukan Ukur maupun Bahurekso, gagal dalam penyerangan tersebut.

Menyadari bahwa hasil perang itu tidak akan menggembirakan Sultan Agung, Dipati Ukur hanya memiliki dua pilihan: mati dieksekusi atau mati membela diri. Ia pun memilih opsi yang kedua, karena harga diri serta kehormatan sebagai taruhannya. Ukur berkeliling ke sejumlah tempat di Tatar Sunda, mengajak saudara Pasundannya untuk bersatu dan menentang hegemoni Mataram. Sejumlah lembur, umbul dan dayeuh yang dekat bersedia menerima ajakannya, sedangkan yang lain memilih bersikap pasif dan bahkan ada yang cenderung ingin berkonfrontasi dengannya.

Ketika pasukan Mataram di bawah kepemimpinan Bahurekso dan Narapaksa yang ditugaskan untuk menghukum Dipati Ukur itu berdatangan ke wilayah Pasundan, pasukan Ukur melakukan gerilya dengan komando yang berada di sekitar Gunung Lumbung. Penguasaan mereka atas lapangan, sebetulnya membuat pasukan Dipati Ukur sempat unggul, namun malang tidak dapat ditolak dan untung tidak dapat diraih, sejumlah kepala umbul (kepala lokal) Pasundan yang tidak suka dengan Ukur malah bekerjasama dengan Mataram dan membantu memetakan wilayah pasukan Ukur sehingga kemudian berhasil mematahkan berbagai strategi gerilya yang digunakannya.

Buku ‘Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië, 1914’ yang ditulis oleh N.J. Krom menyatakan bahwa pada tahun 1833 seorang zoolog dan ahli botani berkebangsaan Jerman, anggota en:Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië (Komisi Pendidikan Fisika Hindia Belanda) yang bernama Salomon Müller datang ke Gunung Lumbung. Bersama dengan Pieter Van Oort, ia mendapatkan cerita dari sesepuh disana tentang sosok Dipati Ukur hingga tempat peninggalannya. Menurut orang tua tersebut, Gunung Lumbuh adalah pertahanan terakhir Dipati Ukur.

Setelah terdesak dan berhasil ditangkap, Dipati Ukur dibawa ke Mataram dan menemui ajalnya. Terkait akhir sang penguasa Tatar Ukur tersebut, ada banyak versi eksekusi dan tokoh yang berjasa dalam mematahkan perlawanannya. Namun yang jelas, sang dipati dihukum mati dan tokoh yang membawanya ke Mataram adalah orang-orang Sunda sendiri. Menurut Karel Frederik Holle, penangkap Dipati Ukur adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita). Sedangkan dalam Naskah Dipati Ukur yang ada di Leiden dan ditulis oleh R.A. Sukamandara, disebutkan bahwa sang dipati ditangkap oleh pasukan yang dipimpin oleh Adipati Kawasen, Bagus Sutapura.

Dalam rangkaian peristiwa yang saling jalin menjalin tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kehormatan dan keserakahan adalah dua hal yang berlainan. Meskipun balasannya kematian, kehormatan mesti ditegakkan. Sedangkan keserakahan, meskipun tawarannya adalah kebahagiaan, mesti bisa dijauhkan. Bukan hanya demi kebaikan yang sesaat dirasakan, namun juga demi catatan sejarah yang abadi sebab dituliskan, dan menjadi bacaan banyak insan di setiap zaman.

Keserakahan memang tidak mengenal asal bangsa, namun bersemayam di jiwa-jiwa haus kuasa sehingga ia menjelma menjadi raksasa penyiksa yang bahkan bisa saja berasal dari satu kelompok bangsa dan bahasa yang sama. Ingat saja, pemangsa bisa hadir dari orang terdekat yang berada di sekeliling kita. Jangan berlebihan curiga, cukup mawas diri dan selalu waspada.

TIDAK ADA KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini