Membicarakan tradisi, filosofi, dan gaya hidup, sepertinya tanah Jawa punya magnet tersendiri yang wajib diketahui generasi masa kini. Di tengah perkembangan arus modernisasi, teman-teman harus lebih jeli mengetahui sebenarnya ada lho yang lebih perlu disoroti dan dibagikan oleh teman-teman saat duduk bersama menikmati kopi.
Kali ini kami akan membawa teman-teman menengok lebih dalam ke salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yaitu Kudus yang dibanggakan sebagai Kota Santri.
Kota Kudus diresmikan pada 23 September 1549, yang dahulunya Kota Kudus bernama Tajug. Dinamakan Tajug karena dahulu kota ini terdapat banyak Tajung yaitu bentuk atap tradisional kuno kepercayaan masyarakat lokal untuk tempat bersembahyang para pemeluk agama Hindu. Bangunan ini dianggap suci, maka pada masa dakwah Sunan Kudus tanpa menghilangkan anggapan kesucian tersebut, kemudian dirubah nama kota menjadi Al-Quds dalam bahasa arab berarti suci. Karena kesulitan pengucapan, maka masyarakat Jawa lebih akrab menyebutnya dengan kata Kudus.
Selain kota santri, Kudus juga diberi julukan kota kretek. Ini dibuktikan dengan dibangunnya Museum Kretek di Kota Kudus. Terletak 50 kilometer dari Timur Kota Semarang tepatnya di Jalan Getas Pejaten No. 155, Museum Kretek Kudus menjadi satu-satunya museum sejarah rokok kretek di Indonesia. Jauh sebelum masa kemerdekaan, kretek sudah menjadi indentitas Indonesia yang tidak hanya dari sisi konsumtif tembakau saja, tapi keahlian masyarakat Kudus dalam meramu tembakau dicampur dengan rempah cengkeh kemudian dipilin dengan kulit jagung menjadikan kretek adalah hasil kreatifitas dan salah satu warisan budaya Indonesia. Sejarah mencatat sebuah nama yang berjasa memajukan industri kretek di tanah Kudus yaitu Nitisemito. Pada tahun 1914 dirinya berhasil menyerap tenaga kerja sampai 15.000 orang di lahan seluas 14 hektar miliknya untuk dijadikan industri kretek pertama kalinya di Jawa. Nitisemito sukses menjadi saudagar kretek besar dan pertumbuhan ekonomi kota Kudus meningkat berkat produksi kretek yang disebarluaskan seantero bumiputera. Jadi, kalau bisa disimpulkan bahwa kretek sukses menjadi identitas diri warga Kudus karena kretek adalah hasil kreativitas yang menjadi bagian dalam gaya hidup berbudaya serta pembangkit ekonomi masyarakat Kudus.
Beralih dari kesuksesan Kretek di Kota Kudus. Kami akan mengulas sisi religi kota Santri ini. Teman-teman perlu tahu, sebelum mendapat julukan sebagai Kota Santri, dahulu mayoritas penduduk Kota Kudus adalah pemeluk agama Hindu. Sejak datangnya Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan atau lebih dikenal sebagai Sunan Kudus mulailah berkembang ajaran agama islam. Cara dakwah yang dilakukan Sunan Kudus yang bijaksana dan penuh dengan toleransi ini dibuktikan dari moment yang dituliskan dalam beberapa literasi salah satunya dari buku Kudus dan Islam karya Sri Indrahti menceritakan bahwa suatu hari Sunan Kudus mengikat sapi di pelataran Masjid Menara Kudus, ini mendapat perhatian kaum penganut agama Hindu karena bagi mereka sapi adalah hewan yang disucikan. Pada saat itu Sunan Kudus menghimbau kepada seluruh masyarakat Kudus agar tidak menyembelih dan mengkonsumsi daging sapi, karena ini bentuk toleransi beragama bagi umat Muslim dan Hindu. Sehingga pada Idul Adha tidak ada yang memotong sapi sebagai kurban, melainkan mereka menggantinya dengan kerbau atau kambing. Sejak saat itu, daging sapi tidak lagi dikonsumsi rakyat Kudus. Ternyata kebiasaan ini berlanjut sampai saat ini lho, teman-teman.
Dari kegigihan dan keteguhan rakyat Kudus kita bisa belajar, bahwa budaya itu bisa menjadi ciri khas yang bisa menambah sisi toleransi kehidupan bermasyarakat. Bukan sebagai pembatas yang memecah belah antar kelompok. Tugas kita sebagai anak muda, hanya meneruskan serta melestarikan identitas tersebut kapada anak cucu kita nanti, agar Indonesia tetap berbudaya, walau tercampur modernisasi