Roti Buaya merupakan salah satu bagian terpenting yang tak pernah tertinggal dalam setiap upacara pernikahan adat Betawi. Seserahan Roti Buaya, biasanya dibawa oleh pihak pengantin pria untuk diberikan kepada pihak pengantin perempuan.
Sebagai sebuah bagian penting dalam pernikahan, umumnya roti yang dibawa berjumlah sepasang. Ukuran dari roti ini rata-rata sekitar 40 hingga 80cm, namun ada juga yang bisa mencapai 1 meter. Agar dapat dibedakan, pada roti buaya perempuan biasanya diberikan sebuah pita merah dan diletakkan satu buah roti buaya kecil tepat dibagain atas atau disampingnya.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa penggunaan roti buaya adalah sebagai simbol Kesetiaan. Hal ini dikarenakan buaya selalu disebut sebagai hewan yang setia pada pasangan mereka lantaran hanya memiliki satu pasangan dihidupnya.
Buaya sebagai simbol tak hanya bermakna sebagai sebuah kesetiaan saja, tapi juga dapat diartikan sebagai pembawa keberuntungan, kemakmuran, serta harapan pada tiap pasangan yang baru menikah.
Bahkan dilansir dari beberapa sumber, buaya juga dianggap sebagai simbol Kehidupan oleh masyarakat Betawi. Hal ini tentu tidak lepas dari sebuah kisah di masa lampau mengenai buaya yang pernah menjadi penunggu di sebuah mata air. Konon buaya tersebut menjaga mata air itu agar tak ada seorang pun yang berani mencemari maupun merusaknya, sehingga masyarakat dapat menggunakan mata air itu untuk kehidupan mereka sehari-hari. Nah, buaya yang menjadi penunggu mata air itu kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat dengan menjadikannya sebagai simbol kehidupan.
Selain itu, karena utamanya dalam sebuah pernikahan bukan hanya bertujuan untuk menyatukan dua keluarga saja, melainkan juga untuk melanjutkan generasi yang baru, itulah mengapa dalam kebudayaan Betawi adanya seserahan pernikahan berupa hantaran roti buaya merupakan hal wajib yang juga diartikan sebagai simbol untuk melanjutkan kehidupan yang baru bagi para pengantin.
Perlu diketahui juga bahwa awalnya roti buaya dibuat bukanlah untuk dikonsumsi, melainkan hanya sebagai pajangan (hiasan) pernikahan saja. Itulah kenapa roti tersebut dibuat dengan tekstur yang keras dan sengaja dibiarkan sampai membusuk, karena dianggap memiliki makna bahwa pasangan yang menikah diharapkan bisa terus langgeng hingga akhir hayat.
Namun seiring perkembangannya, roti buaya akhirnya dibuat dengan tekstur yang lebih lembut sehingga dapat dimakan dan dibagikan kepada kerabat yang belum menikah. Tujuannya tentu agar mereka yang belum menikah juga dapat segera menyusul untuk melangsungkan pernikahan.
Begitulah kira-kira filosofi (makna) dari roti buaya dalam pernikahan adat Betawi.Tak hanya sekadar hantaran wajib dalam pernikahan, tapi juga sebagai bentuk suatu pengharapan agar kelak sepasang suami istri bisa memiliki kehidupan baru yang mampu bertahan selamanya.