Tringgg…..Tringgg…Tring… Alarm Handphone pemuda berumur 27 tahun, membangunkan dirinya dari tidur malam yang sangat nyenyak. Tentu seperti pekerja pada umumnya, dengan malas-malasan, ia membuka matanya dan meraih gawai yang ia letakan di samping bantalnya, mematikan alarm dan melihat notifikasi terbaru yang ia lewatkan semalaman.
Traktor 1 & 2 telah selesai melakukan pembajakan lahan jagung , Alat penganlisis tanah menemukan adanya defisiensi unsur Nitrogen pada pertanaman, Alat pemantau hama & penyakit tanaman menemukan adanya serangan patogen cendawan pada pertanaman dengan indeks serangan 20% per hektare
Pemuda 27 tahun itu ternyata merupakan petani muda pada masanya. Ia menggeser aplikasi itu, tanda memberikan persetujuan bagi sistem pertanian pintarnya untuk melakukan tugasnya hari ini.
Dunia pertanian internasional tentu sudah memprediksi penggunaan teknologi dalam produksi pangan, dari hulu (on-farm) hingga hilir (off-farm).
Pengembangan Teknologi Pintar pada Bidang Pertanian
Konsep ini telah berkembang (perlahan) sejak tahun 1940-an, ketika seorang petani bernama Frank Andrew merancang pengaturan traktor tanpa pengemudi dengan pusat kendali dan kabel yang masih terkoneksi dengan traktornya. Upaya digitalisasi pertanian mulai terwujud dengan baik pada tahun 2008, yakni traktor dengan sistem GPS oleh John Deere.
Pada tahun 2016 dan 2017, industri pertanian mulai menggunakan drone, Internet of Things (IoT), dan analisis pencitraan canggih, sehingga biaya produksi dan pekerja pada sektor pertanian menurun. Teknologi akan terus melakukan lompatan besar di bidang pertanian, berkorelasi dengan efisiensi yang tinggi pada setiap sektornya.
Dengan teknologi, kita bisa mengasumsikan kerbau yang kita gunakan selama ini, memiliki kekuatan 10-100 kali lebih kuat dibanding biasanya. Kerbau yang memiliki tenaga uap.
Mungkinkah? Tentu mungkin.
Traktor Tanpa Pengemudi
Traktor tanpa pengemudi (otonom), bagi sebagian orang mungkin lebih cocok sebagai judul film horor daripada inovasi dalam bidang teknologi pertanian.
Traktor otonom lebih dikenal sebagai disrupsi paling awal pada sistem pertanian digital. Sebelumnya, kita tahu, petani perlu menghabiskan banyak hari dalam setahun untuk mengelola dan menggunakan traktor. Namun dengan traktor otonom, maka petani bebas melakukan pekerjaan yang lebih bernilai. Tentu dengan segala hambatan yang ada: ekonomi, pengetahuan, dan usia petani, tentu hal ini menjadi tantangan untuk Indonesia. Bukan hal mustahil, traktor otonom ini nantinya menjadi titik balik pertanian Indonesia, karena anak muda tidak harus selalu turun ke lahan. Pengoperasian traktor ini juga mudah dipelajari, terutama bagi anak zaman now yang lazim menggunakan gadget.
Traktor otonom saat ini sudah diimplementasikan secara terbatas di Indonesia melalui Litbang Pertanian, dengan sistem Global Positioning System (GPS) berbasis Real Time Kinematika (RTK). Traktor otonom ini dapat mengolah lahan sesuai dengan peta perencanaan dan memiliki akurasi 5-25 cm.

Analisis Tanah dan Hama Digital
Pertanian digital yang berkelanjutan harus memiliki sistem analisis yang kompak. Sensor tanah dapat melacak kelembapan dan kandungan hara tanah. Sebelumnya, petani harus memeriksa tanaman secara visual, sehingga memakan banyak waktu dan sumber daya. Ditambah lagi, mengingat luasan lahan hingga ribuan hektar, petani akan mengalami kesulitan. Melalui sensor yang disematkan di dalam tanah, petani akan memiliki data terkini tentang kondisi yang menghambat pertumbuhan tanaman dan menyebabkan penyakit busuk. Sehingga petani dapat mengidentifikasi lokasi berisiko sebelum tanaman mulai menunjukkan gejala patogen.