Beberapa hari yang lalu ketika dalam perjalanan menuju Jakarta, seorang pengendara motor tiba-tiba menabrak saya dari belakang. Saat itu kondisi jalan sedang macet.
Sepeda motor dengan kecepatan tinggi menyerobot dari sisi kiri, sedangkan mobil di depanku ngerem mendadak. Tabrakan tak dapat dihindari.
Braaak!
Si Pengemudi motor jatuh. Ia tergelatak di aspal. Di tengah kesakitan, ia membuka helm lalu mengamati bagian lengan dan kakinya. Memastikan tak ada luka parah.
Dari wajahnya, kulihat lelaki itu baru berusia 20-an.
“Mas luka ?” tanyaku, sedikit khawatir.
“Ngga pak” jawabnya.
“Coba saya lihat kakinya,” tanganku memegang pergelangan kakinya. Ada luka baret dan darah mengalir di sana. “Mau saya bawa ke klinik ?”
“Gausah pak,” jawabnya, pelan. “Nggak apa-apa.”
Meski mulutnya bilang tidak apa-apa, aku tahu dia menahan sakit yang luar biasa. Buktinya, ia meringis saat memegang pergelangan kaki.
“Maaf ya, Pak. Saya buru-buru tadi,” katanya sambil merapatkan kedua telapak tangan. Ada sedikit sobekan di sarung tanganya, kulihat.
Aku mengapresiasi anak muda ini. Ia tahu ia salah dan langsung meminta maaf. Biasanya, kalau tabrakan seperti ini pengendara motor yang ngotot.
“Mas salah lho motong jalur gitu. Apalagi ini kan macet,” aku sedikit memberinya nasihat. “Bahaya.”
Ia kembali meminta maaf. Bahkan ia bersedia menanggung kerusakan pada body mobilku. Meski kesal, sebenarnya aku tak mempermasalahkan kondisi mobilku usai ia tabrak. Mobilku hanya penyok, sedangka motornya?
Parah. Spakbornya melesak ke dalam.
“Pak saya gak ada uang. Tapi saya tanggungjawab kerusakan mobilnya,” katanya lagi. Kali ini air mata mulai menetes di pipinya.
Ia lalu menyerahkan KTPnya kepadaku.
“Pak pegang KTP saya dulu ya. Nanti perbaikannya berapa bapak hubungi saya aja,” ujarnya, lirih. “Nanti saya bayar sekalian ambil KTP.”
Aku diam saja. Tak bereaksi apapun. Aku tak tahu harus berbuat apa. Karena jujur, aku pun tak tega melihat kondisinya. Motor rusak, badan luka, paket masih banyak yang belum ia kirim.
Di tengah kebingungan, pemuda itu memberikan KTPnya dan nomor Whatsapp padaku. Setelah memasang helm, menegakan motornya, ia kembali bersiap pergi lagi. Dia bilang masih harus mengirim paket meski luka-luka.
“Sekali lagi, maaf ya, Pak,” katanya untuk kemudian melesat pergi. Semoga tak terjadi apa-apa padanya. Mengendarai motor dengan menahan sakitnya luka dan pikiran kalut tentu bisa menganggu konsentrasi.
Tiga hari berlalu pasca tabrakan di tengah macet ibu kota itu. Aku iseng menghubungi nomor Whatsapp pemuda yang sampai saat ini aku belum tahu siapa namanya. Oh iya, aku sendiri belum membawa mobilnya ke bengkel. Jadi belum tahu biaya perbaikannya berapa.
“Mas, ini biayanya habis tiga ratus ribu,” pesanku ke dia dengan menyebut nominal sekenannya. Perkiraanku dengan lecet di badan mobil, paling hanya 300 ribuan. Bisa jadi mungkin lebih.
Tak lama kemudian, dia membalas.Balasan yang membuat mataku berkaca-kaca.
Baik, Pak. Tapi maaf, saya hanya bisa kasih setengahnya. Mohon maaf banget. Istri saya mau melahirkan. Kata bidan sudah dekat HPL. Saya cuma ada uang 500 ribu.”
Ku balas pesannya. Aku minta ia datang ke rumahku. Bersama istrinya. Pemuda itu menyanggupi lalu aku share location posisi rumahku.
Sorenya, pemuda pengantar paket itu datang. Ia memenuhi janjinya untuk datang bersama istirnya. Kulihat istrinya memang tengah hamil tua. Saat istinya masuk ke dalam rumah langkahnya pun pelan sekali. Seperti kesulitan menanah beban tubuhnya.
Aku tanya keadaan pemuda tadi. Khawatir ada luka serius namun ia bilang sudah mendingan. Kami pun ngobrol bahnyak hal. Dia lalu bercerita kalau ia dan istrinya baru satu tahun menikah dan kini tengah bersiap menyambut anak pertama mereka.
Pemuda itu juga bilang kalau dirinya belum lama menjadi pengantar paket. Waktu menabrak mobilku, dia bilang saat itu tengah terburu-buru. Banyak paket yang belum sampai ke tangan penerima.
“Kalau terlambat antar, saya bisa kena peringatan dari kantor,” ujarnya.
Aku merasa tersentil. Terkadang kalau paket yang aku belum sampai, aku selalu mengomel. Selalu menyalahkan pengantar yang menurutku lambat. Tapi hari ini aku sadar bagaimana perjuangan dan resiko pengantar paket. Demi paket sampai ke tujuan, ia rela berdarah-darah.
Pemuda itu lalu menyerahkan amplop coklat. Ia bilang isinya uang Rp150 ribu. Sesuai dengan apa yang ia bilang di-chat tadi pagi. Setelah amplop coklat darinya ada di tanganku, aku gantian membirnya amplop. Ku bilang di dalamnya ada KTP yang ia titipkan padaku.
Pemuda itu meraba bagian luar amplop. Ia tak yakin kalau isinya hanya KTP yang setipis kain.
“Ini apa ya, Pak?” tanyanya sambil menyodorkan amplop yang kuberikan. “Kok tebel banget?”
Ku dorong pelan tangannya yang memegang amplop tadi. Ia letakkan amplop itu di meja. Sambil tersenyum ku bilang, “Itu buat nambah-nambah biaya melahirkan istri, mas.”
Kulihat raut keheranan di wajahnya. Ia masih belum menangkap pembicaraan ini kemana.
“Semoga nanti istri mas melahirkannya lancar. Selamat dan sehat semuanya,” doaku.
Mendengar hal itu, istri pemuda tadi matanya berkaca-kaca. Sementara sang suami masih tetap dengan wajah bingungnya.
“Ini gimana sih, Pak? Kan saya yang nabrak bapak. Kok malah dikasih uang?” tanyannya, heran.
“Benar mas nabrak saya, tapi mas kan sudah bertanggungjawab kasih saya biaya perbaikan. Saya terima. Jadi masalahnya sudah selesai,” kataku.
Sama seperti tempo hari, kali ini pun kuberi ia sedikit wejangan. Aku ingatkan dia untuk berhati-hati jika bekerja. Memang mengantarkan paket butuh kecepatan, tapi bukan berarti harus ugal-ugalan.
“Ada istri dan anak yang menunggu di rumah,” kubilang. Bukan menggurui, hanya supaya ia menjadi suami yang lebih bertanggung jawab.
“Ya tapi ini.. itu..” ia terbata-bata. Disampingnya, sang istri mulai menyeka air mata yang menetes ke pipi. ” Ya Allah, Pak. Terima kasih banyak.”
Pemuda tadi lalu menyalami saya. Ku balas salamnya sampai tak menyadari, mataku sudah mulai ikut berkaca-kaca.
“Saya juga berterimakasih pada mas dan mbak yang sudah mengajari apa itu arti tanggung jawab. Saya banyak belajar dari kalian berdua.” kataku sambil mencoba tersenyum. “Kalau putranya lahir, kabarin ya.”
Sejurus kemudian, istriya memeluk saya. Mereka lalu pamit pulang.
Tentang tanggung jawab.
Banyak dari kita yang mampu menuntut pertanggungjawaban pada orang lain atas kesalahan yang dilakukannya, namun sedikit dari kita yang mampu bertanggungjawab pada kesalahan diri sendiri dan menolong yang lemah adalah bentuk pertanggungjawaban atas kekuatan yg diberikan Tuhan pada kita.
Cerita di atas merupakan tulisan milik seorang warganet dengan akun Facebook Aajek Cianjur. Postingan yang diunggah di salah satu grup pada Rabu (30/7/2020) tersebut disukai banyak warganet lainnya.
Hingga artikel ini ditulis, postingan Aajek Cianjur itu telah dibagikan sebanyak 642 kali dan dikomentari lebih dari 500 warganet. Artikel berjudul Arti dari Sebuah Tanggung Jawab yang dimuat di tapak.id telah melalui penyuntingan tanpa mengubah makna dari tulisan aslinya.