Penulis : Tendi
Naskah Carub Kandha yang pernah digarap transliterasi dan translasinya oleh tim dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, meriwayatkan pesan Sunan Maulana Jati (Syekh Syarif Hidayatullah) akan pentingnya pusaka bagi generasi penerus. Dalam sebuah pertemuan yang dilakukan oleh Kanjeng Sunan bersama para petinggi Kerajaan Cirebon, pembicaraan mengenai pusaka itu terjadi.
Kanjeng Sunan berkata: “Lah rempugena gawéa tukang besi kanggo agawé sakathahing gagaman kerajahan Narpati atuwin gagaman nipun kawula bala dadiya pusaka bénjing satedak-tedak ming anak putu bénjing.” (berempuglah untuk mengadakan para pandai besi atau empu guna membuat banyak pusaka yang diperuntukkan raja ataupun pusaka untuk kawulawadya, yang kelak diharapkan dapat menjadi peninggalan anak-cucu kita).
Tidak ada pembatasan dan ketentuan tertentu akan pusaka yang hendak digarap oleh para empu Cirebon tersebut, Sunan Maulana Jati membebaskan para pandai besi untuk memilih jenis pusaka yang mereka kehendaki. Namun demikian, Kanjeng Sunan menjelaskan bahwa pusaka yang telah ada di tanah Jawa sejak dahulu kala adalah pusaka keris dan pedang. Kedua jenis pusaka tersebut, masih menjadi tren pusaka yang ada hingga sekarang.
“Sakarep ira amilih ing warna rupa wanguné siji-siji wandéning gagaman tiwa-tiwa kuna jenenging keris muwa ingkang padang apa déning gagaman-gagaman (Silahkan bebas memilih untuk berkarya tosan aji sekehendak hati masing-masing. Adapun gegaman itu adalah dari peninggalan jaman kuna, yaitu berwujud keris serta pedang ataupun bentuk gegaman yang lainnya),” jelas Sunan Syekh Syarif Hidayatullah perihal wanda pusaka tersebut.
Terkait pedang yang disebutkan Kanjeng Sunan dalam naskah tersebut, terdiri dari pelbagai macam senjata yang ternyata telah berasimilasi antara tradisi lokal dengan tradisi luar, khususnya Timur Tengah. Misalnya pedang kamkam yang identik dengan budaya Arab, dan senjata bernama Jambiya yang masyhur dikenal sebagai senjata tusuk yang ada di negeri Yaman, semenanjung Arab bagian selatan.
Syekh Syarif Hidayatullah berkata, “Muwa ingkang pedang, Suduk sawané Cunderik, Lembing Jambiya, wane kang Pedang kamkam, wané kang cawang kali wané Tarajumas Buntut Mimi ana kang Koléwang kang becik gumelar gagaman ingkang sabagi-bagi (Serta membuat wanda pedang, seperti ; Suduk, Cundrik, Lembing Jambiya, sebagian lagi Pedang Kamkam, Pedang Cabang Dua, Tarajumas, Buntut Mimi, Kolewang. Maka dibabarlah karya pusaka yang berbagai macam wandan).”
Dengan ragam pusaka yang diamanahkan pembuatannya oleh Kanjeng Sunan Jati itu, lalu siapakah yang akan membabar dan mewujudkannya? Tentu jawabannya adalah para pande bési, yang jika sudah sangat menguasai bidang tersebut dikenal sebagai empu pandé. Dalam konteks ini, Naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian telah menyebutkan bahwa, “kitu lamun urang hayang nyaho di saren(ana), eta ma panday tanya.” Tanyalah kepada pandai besi jika ingin mengetahui perihal (pusaka) hasil tempaan.
“Kapalaning tukang besi kang aguna kang pada dén arani nama Ki Khalifah pangareping sadaya Empu Domas ingkang ajir. Mulané ana désa kang dén arani Pakhalipan panggonané Ki Khalifah, kapala pandé wesi.”
Menurut Naskah Carub Kandha, empu kepala yang dijadikan pemimpin para empu yang akan melaksanakan perintah Kanjeng Sunan untuk membuat pusaka adalah Empu Domas. Ketika diangkat sebagai kepala empu, ia diberi gelar sebagai Ki Khalifah. Desa Pekalipan di Cirebon, dikatakan berasal dari nama kediaman sang kepala pandé besi.